Mama Tiriku Yang Cantik Dan Menggoda
Ketegangan meliputi seluruh keluarga besar Papa saat ia memutuskan untuk menikah lagi. Mama dan ketiga orang kakakku menentang keputusan Papa. Masalahnya, perempuan yang mau dinikahi Papa, sebut saja namanya Rina, seusia dengan kakak perempuanku yang kuliah semester 2.
Aku yang waktu itu baru lulus SMP belum begitu paham dengan urusan orang tua. Apalagi aku jarang bertemu Papa karena ia kerja di kota lain. Tapi Papa tetap pada keputusannya. Ia menikah lagi tanpa dihadiri oleh anak-anaknya. Ia dan istri barunya tinggal di kota J di mana ia selama ini bekerja, sedangkan kami anak-anaknya tinggal bersama Mama.
Meski tinggal berjauhan, Papa tetap rajin mengunjungi kami seperti biasanya. Hanya saja ia tak pernah mengajak istrinya karena mungkin khawatir akan menimbulkan konflik. Begitu juga soal biaya hidup, Papa tidak pernah terlambat mentransfer ke rekening Mama.
Waktu lulus SMA, karena tidak diterima di perguruan tinggi negeri, Papa menawariku untuk kuliah di Jakarta karena ia punya kenalan rektor di salah satu perguruan tinggi swasta di sana. Semula aku ragu. Apalagi Mama dan ketiga kakakku tak setuju. Mereka ingin aku berjauhan dengan Mama.
Tapi ketika kemudian ada kabar kalau Papa masuk rumah sakit, aku akhirnya menerima tawaran Papa. Aku dan kakak perempuanku, sebut saja namanya Mbak Dewi, berangkat ke Jakarta untuk menengok Papa. Aku trenyuh saat melihat Papa terbujur lemah di tempat tidur.
Saat itulah untuk pertama kalinya aku bertemu Rina. Mbak Dewi tidak saling bertegur sapa dengan Rina. Kelihatan sekali kalau ia sangat tidak suka pada istri baru Papa itu. Aku pun sebetulnya juga menyimpan rasa marah karena Rina telah merebut Papa dari Mama, tapi karena merasa jengah dengan suasana yang begitu kaku, sedikit-sedikit aku mau juga diajak bicara oleh Rina.
Karena kasihan pada Papa itulah kemudian aku memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Mbak Dewi marah saat kukatakan itu padanya, tapi aku bersikukuh pada pendirianku. Menurutku, paling tidak ada satu anak Papa yang menemaninya di Jakarta, karena tak ada satupun kerabat di kota metropolitan itu.
Akhirnya Mbak Dewi pulang sendirian, sedangkan aku menjaga Papa di rumah sakit sampai Papa diperboleh pulang. Setelah beberapa hari tinggal di rumah Papa, aku pulang untuk mengambil dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran di perguruan tinggi.
Sampai di rumah aku diomeli oleh kakak-kakakku, sementara Mama hanya bisa menangis. Tapi aku kukuh pada pendirianku. Lagipula Rina tak seburuk yang mereka kira. Kakak-kakakku menganggap kalau Rina mau dinikahi Papa hanya karena Papa kaya.
Tapi selama beberapa hari bersamanya aku punya penilaian sendiri. Justru Rina orang yang bersahaja. Ia pun ramah, tidak galak seperti ibu tiri dalam film. Bagiku, Mama Rina adalah sosok yang menyenangkan, selain juga cantik.
Seharusnya kakak-kakakku bersyukur ada Rina yang merawat Papa di kota J. Mungkin juga Mama salah, kenapa dulu menolak pindah ke kota J. Kakak-kakakku pun akhirnya menyerahkan keputusannya padaku. Hanya saja mereka berpesan agar aku kos saja di dekat kampus. Kalau itu aku setuju karena rumah Papa dengan perguruan tinggi yang akan kumasuki sangat jauh.
Di Jakarta, untuk sementara aku tinggal di rumah Papa sampai urusan administrasi pendaftaranku selesai. Rina lah yang mengantarku ke kampus, mulai dari awal sampai tes penerimaan, karena Papa sibuk dengan pekerjaannya.
Dan jika ada waktu senggang, ia mengajakku ke tempat-tempat wisata yang ada di Jakarta, atau sekedar makan siang bersama di Pizza Hut atau Mc Donald. Begitu juga ketika aku dinyatakan diterima sebagai mahasiswa baru, Rina yang menemani mencari tempat kos.
Namun hal yang terduga terjadi padaku. Kebersamaan selama beberapa hari dengan Rina menumbuhkan perubahan pada diriku. Selain aku mulai terbiasa memanggilnya Mama Rina, muncul rasa aneh dalam diriku.
Aku berusaha sekuat tenaga menepis perasaanku itu, karena merasa tak sepantasnya perasaan itu ada, tapi tak pernah bisa. Entah kenapa ada semacam rasa suka saat berduaan dengan ibu tiriku itu. Aku takut mengakui kalau aku jatuh cinta padanya, tapi memang itulah yang terjadi.
Aku merasa kesepian saat mulai tinggal di tempat kos, apalagi saat menjelang tidur. Ingatanku selalu pada Mama Rina yang suka memakai baju ketat tanpa lengan kalau di rumah.
Yang paling menggetarkan hatiku adalah ketika kami ngobrol berdua di sofa teras belakang rumah. Satu kakinya ditumpangkan ke kaki lainnya hingga menampakkan pahanya yang mulus. Diam-diam aku ereksi membayangkan Mama Rina. Kerinduanku padanya terasa sangat menyiksa.
Untungnya rinduku pada Mama Rina terobati, setidaknya seminggu sekali, karena setiap Jumat malam ia, kadang bersama Papa kadang sendirian, menjemputku di tempat kos agar hari Sabtu dan Minggu aku bisa tinggal di rumah Papa. Perasaan yang kupendam makin memburuk saat muncul ketidaksukaanku pada Papa. Semacam cemburu begitulah. Aku lebih suka jika hanya Mama Rina sendiri yang menjemputku.
Aku tak betah tinggal di rumahnya jika ada Papa. Dan rasa cinta pada Mama Rina yang usianya sekitar 4 sampai 5 tahun lebih tua dariku makin tumbuh subur. Gejolak darah mudaku menggebu-gebu setiap kali melihat Mama Rina. Aku mulai berkhayal tentang dia, membayangkan nikmatnya mencumbui bibir indahnya. Sadar atau tidak, aku telah terobsesi pada Mama Rina.
Saking besarnya obsesiku pada Mama Rina hingga timbul hasrat isengku. Diam-diam kupinjam handycam milik Papa yang tersimpan di laci ruang keluarga, lalu kubeli kaset kosong. Saat aku mandi kuletakkan handycam itu di tempat tersembunyi dan kuaktifkan mode perekamannya.
Sudah kuperhitungkan waktunya dengan kebiasaan Mama Rina mandi. Kurasakan debaran jantungku ketika melihat Mama Rina masuk kamar mandi. Di ruang keluarga aku menunggu dengan pura-pura nonton TV. Selama menunggu, aku gelisah tak karuan. Tak sabar ingin segera melihat hasilnya.
Begitu Mama Rina selesai mandi dan masuk ke kamarnya, bergegas kuambil handycam itu. Di dalam kamar yang telah kukunci kuputar ulang rekamannya. Aku menahan nafas menyaksikan adegan demi adegan mulai Mama Rina masuk kamar mandi, membuka baju dan dan mulai mandi.
Panas dingin rasanya melihat tubuh telanjang Mama Rina yang begitu indah. Kedua mataku tak berkedip menikmati setiap gerak-geriknya. Begitupun ketika ia selesai mandi dan mengenakan BH dan celana dalam sexy berwarna hitam. Rekaman itu kemudian kutransfer ke komputer sehingga aku bisa memelototi lekuk liku tubuh Mama Rina lebih jelas.
Tak puas dengan rekaman kamar mandi, aku pun mengalihkan sasaran ke kamar tidur Mama Rina. Saat ia mandi aku menyelinap ke kamarnya. Kuletakkan handycam di tempat tersembunyi dan kuarahkan ke tempat tidurnya. Tapi cara ini kurang efektif.
Aku harus menunggu esok hari saat Mama Rina tak di kamar untuk mengambil handycam. Kutelepon Papa minta ditransfer sejumlah uang yang kukatakan untuk beli buku, padahal kubelikkan kamera mini yang terhubung ke komputer. Dengan begitu aku bisa mengamati langsung gerak-gerik Mama tiriku di tempat tidur dan sekitarnya.
Aku hanya mengaktifkan kamera mini saat Papa tidak di rumah. Aku tak mau melihat ia dan Mama Rina bercumbu di tempat tidur. Yang kuinginkan hanya Mama Rina dalam keadaan sendirian, hingga suatu ketika ada satu adegan yang membuat nafsuku meronta dan berujung pada onani.
Betapa tidak. Saat itu siang hari, usai makan dan ngobrol di ruang keluarga, Mama Rina minta diri mau tidur. Ngantuk, katanya. Papa sedang mengunjungi Mama, sehingga praktis hanya ada aku dan Mama Rina serta pembantu rumah tangganya. Begitu ia masuk kamar, aku pun ke kamarku dan langsung menghidupkan komputer. Di monitor kusaksikan Mama Rina merebahkan dirinya di ranjang.
Mulanya kulihat ia tenang dan kupikir sudah tidur. Tapi beberapa menit kemudian ia tampak gelisah. Tidurnya berubah-ubah posisi yang membuat baju tidurnya tersingkap. Beberapa menit kemudian tangannya mengelus-elus “miliknya” yang tertutup celana dalam putih.
Aku menahan nafas dengan mata tak berkedip melihat ke layar monitor. Tak lama setelah itu tangan Mama Rina menyusup ke celana dalamnya disertai goyangan pinggul yang membuat birahiku naik ke otak. Aku jadi tergerak untuk melakukan hal yang sama. Kuremas lembut “milikku” sambil mengamati gerak-gerik Mama Rina.
Adegan berikutnya, Mama Rina melepas baju tidurnya. Ternyata ia tidak pakai BH. Tubuhku panas dingin menyaksikan aksinya. Kemudian pelan-pelan Mama Rina melepas celana dalamnya dan mulai memainkan “miliknya” dengan penuh gairah. Sayang suaranya tak terdengar. Andai terdengar pasti makin asyik. Tubuhnya menggelinjang merasakan kenikmatan yang dibuatnya.
Beberapa saat kemudian Mama Rina memiringkan tubuhnya dan membuka laci yang ada di samping tempat tidurnya. Jantungku berdegup kencang manakala melihat benda yang diambilnya. Benda mirip kemaluan laki-laki. Dengan ekspresi penuh perasaan, Mama Rina menggesek-gesekkan benda itu di “miliknya”.
Lagi-lagi pinggulnya menggelinjang. Aku sudah menduga adegan selanjutnya. Ya, Mama Rina mulai memasukkan benda itu ke “miliknya”. Mulutnya menganga akibat nikmat yang dirasakannya. Tak mau kalah dengan Mama Rina, aku pun menelanjangi diriku sendiri dan makin asyik memainkan “milikku”.
Mama Rina mengangkat kedua kakinya dengan posisi mengangkang sambil memainkan benda itu di “miliknya”. Matanya terpejam, mungkin sedang membayangkan Papa yang menyetubuhinya.
Setelah itu Mama Rina tengkurap. Pantatnya ditunggingkan sementara tangan satunya memegangi “mainannya” yang diberdirikan di ranjang. Begitu sudah pas, ia mulai menggoyang pantatnya naik turun dengan posisi duduk. Sesekali alat itu terlepas dan Mama Rina membetulkannya.
Puas dengan posisi duduk, Mama Rina menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang. Kedua kakinya dibuka lebar-lebar saat “mainannya” dikocok-kocokkan dalam”miliknya”. Seiring dengan itu, aku pun mengocok “milikku” makin cepat dengan genggaman yang makin erat. Beberapa menit kemudian Mama Rina berguling-guling di ranjang.
“Mainannya” dicabut, diganti dengan tangannya yang membekap “miliknya”, sementara kedua kakinya menjepit erat. Nafasnya memburu, terlihat dari perut dan dadanya yang naik turun tak beraturan. Tampaknya Mama Rina sudah mencapai orgasme. Aku mempercepat kocokanku hingga akhirnya cairanku tumpah ke lantai. Aku terengah-engah, sama seperti Mama Rina.
Beberapa saat kemudian Mama Rina memasukkan kembali “mainannya” ke dalam laci, lalu rebah lagi di ranjang. Wajahnya terlihat puas. Ia pasti kelelahan setelah melakukan masturbasi hingga akhirnya tertidur dalam keadaan telanjang bulat. Kubaringkan tubuhku di ranjang setelah kuberesi cairanku yang berceceran di lantai dengan tisu. Nikmat sekali rasanya. Setelah kejadian itu, obsesiku pada Mama Rina makin dalam merasuki batinku.
Aku bukannya tak mau berusaha menjauhkan perasaan yang tak pantas itu dari lubuk hatiku. Menjelang akhir semester pertama aku menjalin hubungan khusus dengan teman sekampus, sebut saja namanya Nina. Aku berharap, berpacaran dengan Nina akan membuat obsesiku pada Mama Rina bisa teralihkan. Tapi nyatanya tidak. Meskipun aku berpacaran dengan Nina, tapi yang selalu hadir dalam khayalku menjelang tidur tetap saja Mama Rina.
Ketika aku mudik libur semesteran pun bukan Nina yang kurindukan, tapi Mama Rina. Aku benar-benar bingung menghadapi kenyataan ini. Sudah berkali-kali kutekankan pada diriku sendiri, bahwa tak mungkin aku bisa mendapatkan cinta Mama Rina, tapi sulit sekali.
Seperti menghapus noda tinta di baju seragam. Makin digosok, nodanya makin melebar. Bahkan, saking rindunya, diam-diam kutelepon Mama Rina. Basa-basinya adalah menanyakan kabarnya dan kabar Papa. Padahal itu hanya sebagai modus untuk mengobati kerinduanku meski hanya mendengar suaranya.
Suatu hari Mama Rina memintaku menemaninya ke kota B untuk menengok orang tuanya. Saat itu Papa sedang ke Singapura untuk keperluan bisnis. Dengan bermobil kami berdua meluncur ke sana. Tapi kami tidak menginap. Sorenya kami kembali ke kota J.
Aku tak menolak ketika Mama Rina menawariku menginap di rumahnya, karena hari sudah malam. Justru itu yang kuharapkan, karena terus terang, selama bermobil dengan Mama Rina nafsuku meletup-letup melihat kemulusan pahanya.
Apalagi ketika ia condongkan sandaran jok ke belakang dan kemudian matanya terpejam. Ingin rasanya kususupkan jari-jemariku ke sela-sela roknya yang tersingkap setiap kali ia bergerak menggeser posisi berbaringnya. Tapi aku tak cukup punya nyali untuk berbuat senekad itu, walaupun keinginanku begitu kuat. Aku tak sabar ingin segera sampai di rumahnya dan berharap ia melakukan masturbasi lagi.
Hingga hampir jam 10 malam mataku tak letih memandangi monitor. Dengan menggunakan mode infrared keadaan kamar Mama Rina tetap bisa terlihat dengan baik. Hanya saja tampaknya harapanku tak terkabul. Mama Rina sepertinya sudah tidur, walaupun ia kadang bergerak, berganti posisi tidur.
Aku hampir putus asa menunggunya melakukan “adegan spektakuler” seperti sebelumnya dan berniat untuk tidur juga. Saat aku hendak beranjak dari kursi, kulihat Mama Rina bangun. Sesaat ia duduk di tepi ranjang, lalu berjalan menuju pintu. Mungkin ia hendak ke kamar kecil.
Seketika kantukku sirna. Kutunggu Mama Rina kembali ke kamarnya. Benar saja. Beberapa menit kemudian ia masuk ke kamar dan membaringkan tubuhnya di ranjang. Selimutnya dibiarkan teronggok di sampingnya. Jantungku berdebar menunggu ia “beraksi”. Ia tampak gelisah, terlihat dari gerakan tubuhnya.
Kadang miring, kemudian kembali telentang. Setelah itu miring lagi sambil memeluk guling. Tak sampai lima menit, ia beranjak lagi dari tempat tidur, membenahi rambutnya, lalu keluar lagi. Aku menunggu dengan sabar di depan monitor.
Jantungku hampir copot saat terdengar bunyi “klek”, gagang pintu kamarku bergerak. Tapi karena terkunci, tidak bisa terbuka. Aku yang sedang tegang menunggu Mama Rina kembali ke tempat tidurnya bukan main kagetnya. Kuamati gagang pintu kamarku. Bergerak lagi. Aku diam terpaku di tempat dudukku, menduga-duga. Kalau bukan hantu, pasti Mama Rina yang melakukannya.
“Mau apa dia malam-malam ke kamarku?”, hatiku bertanya-tanya. Jantungku berdetak makin tak beraturan. Seketika terbersit dalam pikiranku untuk membuka pintu dengan satu harapan, ia menginginkan hal yang sama denganku. Begitu kubuka pintu kamarku, kulihat Mama Rina hendak masuk lagi ke kamarnya. Ia tampak kaget melihatku tiba-tiba muncul.
“Oh, kukira kamu sudah tidur, Lang”, ujarnya. Ia urungkan niatnya masuk ke kamar.
“Belum. Ada apa, Ma?”, jawabku sambil balik bertanya dengan nada agak gagap.
“Mama nggak bisa tidur. Mungkin tadi sempat ketiduran di mobil kali ya”.
“Kalau kamu belum ngantuk, temani Mama nonton TV di kamar yuk”, ajak Mama Rina.
Karuan saja aku gugup. Keringat dingin menetes di dahiku. Buru-buru kututup pintu kamarku, takut kalau Mama Rina tiba-tiba nyelonong ke kamarku dan mendapati kalau aku mengamati kamarnya melalui komputer.
“Kok bengong? Ayo sini. Kita nonton di kamar Mama aja”, tukas Mama Rina sambil melambaikan tangan.
Dengan pikiran berkecamuk, kumasuki kamar Mama Rina. Mama Rina meraih remote dan menyalakan TV, sementara aku berdiri saja di depan pintu. Mama Rina menoleh ke arahku sembari berkata, “Sini, Lang”. Tangannya sigap membenahi bedcover lalu menepuk-nepuknya sebagai isyarat agar aku naik ke ranjangnya.
Kubuang jauh-jauh kecanggungan yang kurasakan dan kulangkahkan kaki menuju ranjang. Begitu kubaringkan tubuhku, Mama Rina berbaring di sebelahku sambil menyelimuti tubuh kami berdua. Udara di kamarnya memang dingin sekali. Entah karena AC-nya atau efek dari debaran jantungku saja.
Baru sesaat aku rebahan, Mama Rina yang postur tubuhnya mungil seperti Yuni Shara itu mencecarku dengan pertanyaan yang membuatku kelabakan.
“Tumben pakai ngunci pintu segala. Emang lagi ngapain, Lang?”.
Di saat aku mencari jawaban yang tepat, Mama Rina ngomong lagi dan aku jadi salah tingkah.
“Lagi onani ya? Nggak usah malu lah. Mama kan juga pernah muda. Tahu lah kebiasaan cowok seusia kamu”, tandas Mama disertai senyuman penuh arti.
Entah kenapa, ucapan Mama Rina yang terakhir itu membangkitkan keberanianku untuk bicara.
“Iya, Ma. Habis lagi kepingin sih”. Sengaja kukatakan itu untuk memancing reaksinya. Aku sangat berharap ia bilang “Sini, Mama kocokin”. Jantungku berdebar menunggu jawabannya. Tapi ia hanya tertawa renyah.
“Nggak apa-apa. Itu hal biasa kok. Asal jangan keseringan aja”, tukas Mama, masih disertai tertawa kecil. “Nanti jadi cepat keluar lho”, lanjutnya.
Pembicaraan blak-blakan itu membuat kekakuanku mencair. Aku mulai berani mengimbangi obrolan panas Mama Rina.
Ah, masa sih, Ma?”, aku bertanya asal saja dan tak butuh jawaban ilmiah.
“Kata orang sih. Mama sendiri mana tau? Kamu yang cowok harusnya tau”.
“Emangnya hanya cowok yang onani, Ma? Cewek emang nggak pernah”, cecarku mulai menjurus.
“Iya juga sih. Tapi cowok yang paling sering”, kata Mama. Tampaknya ia mulai gerah juga.
“Mama sendiri pernah nggak?”, pancingku.
“Idiih, kamu apaan sih, tanyanya kok aneh-aneh gitu? Ya enggak lah”, tandas Mama. Sekilas wajahnya bersemu merah. Ia mengalihkan pembicaraan sambil memainkan remote TV. Sambil nonton TV, kami ngobrol tentang banyak hal. Meskipun begitu, debaran jantungku tetap saja menghentak tak karuan.
Apalagi saat kakiku bersenggolan dengan kaki Mama Rina. Kurasakan darahku berdesir. Ada semacam rasa nikmat yang menjalari sekujur tubuhku. Ingin rasanya kurengkuh tubuh Mama Rina dalam pelukanku dan menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi. Tapi aku takut ia marah dan melaporkannya ke Papa. Aku hanya bisa diam menahan gejolak nafsuku.
Tak terasa, sudah jam 12 malam. Kulihat Mama Rina beberapa kali menguap.
“Mama ngantuk ya?”, tanyaku.
“Iya. Kamu sudah ngantuk belum”, Mama Rina balik bertanya.
“Iya juga sih, Ma. Boleh nggak aku tidur sini?”, tukasku spontan.
“Emang kamu mau tidur sama Mama?”, Mama Rina menoleh ke arahku. Aku tak ingin kehilangan momen berharga dalam hidupku. Buru-buru kujawab.
“Kalau Mama ngijinin ya mau aja, Ma”.
Mama Rina tersenyum dan berseloroh, “Boleh aja, tapi jangan ngompol ya”. Aku nyengir kuda. Dalam hati aku girang sekali dapat kesempatan langka seperti itu. Aku beringsut dari ranjang dan bilang pada Mama Rina kalau mau buang air kecil. Begitu aku kembali, cahaya dalam kamar sudah berganti redup.
Kusibak selimut dan sekilas terlihat olehku paha mulus Mama Rina akibat baju tidurnya tersibak. Aku menghela nafas dalam-dalam dan kubaringkan tubuhku di sebelah Mama Rina sambil membenahi selimut yang cukup besar untuk kami pakai berdua.
Dalam keadaan seperti itu aku tak bisa tidur. Kuamati Mama Rina yang berbaring memunggungiku. Aku tak tahu ia sudah tidur atau belum, tapi nafsuku tak henti-hentinya bergejolak, menggodaku untuk melampiaskannya. Aku bertahan untuk tidak tergoda karena takut resikonya. Tapi gumpalan birahiku yang tertahan terus saja meronta-ronta, hingga membuatku mata hatiku gelap. Bodoh rasanya jika tak kumanfaatkan kesempatan emas itu.
Dengan berpura-pura sudah tidur, kugeser tubuhku hingga menempel ke punggung Mama Rina. Aku diam menunggu reaksinya. Karena Mama Rina bergeming, kumiringkan tubuhku hingga sejajar dengan tubuhnya. Rasa nikmat tiba-tiba saja menghentak saat “senjataku” menempel di pantat Mama Rina.
Aku diam lagi, menunggu. Karena tak ada reaksi, kulingkarkan satu tanganku ke tubuh Mama Rina seolah dalam keadaan tak sadar dan menganggapnya sebagai guling. Harum rambut Mama Rina merebak ke rongga hidungku.
Sesaat kemudian kudengar Mama Rina menggumam lirih dan darahku berdesir ketika tangannya memeluk tanganku yang melingkar di tubuhnya. Gempuran nafsu birahi yang begitu kuat tak lagi mampu kubendung. Kuciumi rambut Mama Rina, kemudian turun ke lengannya. Gairahku makin menjadi-jadi saat kudengar Mama Rina mendesah.
Satu tanganku menjalari pahanya dengan beberapa kali usapan lembut sebelum menyusup ke balik baju tidur dan mulai memainkan jari tengahku di sela-sela bagian bawah tubuhnya. Aku melakukannya dengan selembut mungkin dengan harapan Mama Rina akan terangsang. Harapanku terkabul. Pelan-pelan Mama Rina membuka kedua kakinya. Tak terlalu lebar, tapi sudah cukup buatku untuk lebih leluasa memainkan jariku.
Mama Rina kembali mendesah lirih. Kusibak lebar-lebar selimut yang menutupi kami berdua karena aku ingin melihat langsung permainan jariku. Aku harus bersabar melakukan itu dan kesabaranku membuahkan hasil. Bukaan kaki Mama Rina makin lebar dengan satu lututnya terlipat sedikit.
Pelan-pelan kususupkan jariku ke celana dalam Mama Rina hingga kurasakan bulu-bulu halusnya. Begitu jariku menyentuh “miliknya” yang lembut, langsung kumainkan jariku. Mula-mula kuusap bibir kemaluan Mama Rina. Kemudian pelan-pelan usapanku beralih ke bagian tengah. Kulihat perut Mama Rina mengempis seperti sedang menahan nafas. “Miliknya” kurasakan mulai basah.
Mama Rina yang terlihat pasrah membuatku makin berani. Kulorot celana dalamnya dengan hati-hati sampai lepas. Aku ingin mempraktekkan adegan yang kulihat di film biru. Kutelungkupkan tubuhku di atas kaki Mama Rina dan mulai menjilati organ sensitifnya. Sekali lagi Mama Rina mendesah disertai dengan gerakan mengangkang. Aku tak tahu apakah Mama Rina sadar melakukan itu atau hanya refleks saja.
Tapi kulihat matanya masih terpejam. Kulanjutkan jilatanku dengan penuh perasaan. Ternyata memang mengasyikkan. Ada sensasi tersendiri melakukan itu. Apalagi saat pinggul Mama Rina bergerak-gerak, seolah merespon kenikmatan yang kuberikan.
“Lang, ngapain kamu?”, ujar Mama Rina tiba-tiba sambil bertumpu di keduanya dan menatapku. Aku sedikit kaget dan balas menatapnya. Kutunggu reaksinya, marah atau tidak. Tapi begitu Mama Rina berbaring lagi, kulanjutkan lagi permainan lidahku dengan lebih agresif. Sesekali pinggul Mama Rina bergerak mengikuti irama permainanku.
“Ooh, sudah, Lang. Nanti keterusan… Ohh”, desis Mama Rina. Tangannya mencengkeram kuat rambutku. Tak kuhiraukan permintaannya. Makin kuat ia mencengkeramku, makin dahsyat jilatanku hingga lidahku masuk ke “miliknya”.
Dengan dorongan yang agak kuat pada kedua paha Mama Rina ke arah yang berlawanan kuisyaratkan agar ia lebih mengangkang lebih lebar lagi. Agaknya Mama Rina makin terangsang dengan aksiku. Ia pasrah saja “miliknya” kuhujani dengan lidah dan bibirku habis-habisan.
Puncaknya, pinggul Mama terangkat disertai goyangan yang makin kencang, seolah mengimbangi tarian lidahku. Desahnya makin tak terkendali. Kedua tangannya mencengkeram erat seprai tempat tidur. Goyangannya melemah saat desah panjang keluar dari mulutnya.
“Sudah, Lang. Mama sudah orgasme … Ohhh …”, desisnya seraya menahan kepalaku agar tak bergerak lagi. Pelan-pelan pinggulnya turun lagi.
Ciumanku pun kemudian beralih ke perut dan berakhir di dadanya. Kusibak belahan dasternya agar bisa kucumbui dua bukitnya yang indah. Mama Rina melingkarkan kedua tangannya di punggungku pertanda ia menikmati cumbuanku. Sambil mencumbui dadanya, tanganku menjelajahi selangkangannya. Tampaknya Mama Rina tergoda untuk mengimbangiku. Satu tangannya beralih ke celanaku.
Tak puas dengan meraba bagian luar, tangan Mama Rina pun kemudian menyusup ke dalam celanaku dan mulai menggenggam dan mengusap lembut “milikku” yang sudah berdiri tegak. Saat itulah cumbuanku beralih ke lehernya yang jenjang. Kubungkukkan tubuhku sedikit hingga “milikku” bisa kugesek-gesekkan ke “milik” Mama Rina. Mama Rina mendesah dan mendesis yang segera kubungkam dengan pagutan di bibirnya.
Kami pun berciuman dalam balutan nafsu birahi yang menggelegak. Mama Rina mencengkeram T-shirt yang kukenakan dan menariknya ke atas. Aku pun berhenti sejenak untuk melepas T-shirt.
Kuminta Mama Rina untuk duduk di ranjang, sementara aku berpindah posisi di belakangnya . Kusibak rambut Mama Rina dan kucumbui lehernya, sementara kedua tanganku meremas-remas kedua bukitnya. Mama Rina menoleh ke arahku hingga kami bisa saling berpagutan lagi.
Beberapa saat kemudian aku rebah di ranjang. Mama Rina melepas dasternya sebelum melucuti celanaku, lalu mengulum”milikku” dengan gerakan lembut. Begitu nikmat hisapannya hingga aku telentang seolah tanpa daya.
Sampai sejauh itu aku masih merasa seperti mimpi, telanjang berdua dengan Mama Rina dalam panasnya api birahi. Rasanya sulit dipercaya kalau peristiwa yang selama ini hanya ada dalam khayalku, saat itu benar-benar terjadi. Aku sadar kalau itu salah.Tapi dalam keadaan seperti itu, siapa yang bisa berhenti?
Kubiarkan Mama Rina menikmati “milikku” sesuka hatinya. Hangatnya mulut Mama Rina melambungkanku dalam sebuah perasaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Setelah puas melakukan oral, Mama Rina duduk di atasku.
Aku menunggu detik-detik mendebarkan saat “milikku” menembus “miliknya”, tapi tak terjadi. “Milik” kami berdua hanya saling bergesekan saat Mama Rina merebahkan tubuhnya di atas tubuhku sambil mengggoyang-goyangkan pinggulnya ke depan dan ke belakang. Kami saling berpagutan untuk melengkapi sensasi nikmat gesekan itu.
“Milik” Mama Rina terasa telah demikian basah, hingga tak heran akhirnya “senjataku” amblas ke dalam “miliknya”. Mama Rina mendesis dan menelungkupkan wajahnya di leherku. Kupegang erat-erat pantat Mama Rina saat aku mulai menggoyang pinggulku karena Mama Rina tak kunjung bergoyang.
Lama-lama ia pun mengimbangi gerakanku. Mula-mula masih dengan telungkup sebelum kemudian bangkit dan mulai bergerak naik-turun dengan ritme lambat. Tanganku leluasa menggerayangi payudaranya yang bergerak kesana-kemari.
Untuk beberapa saat kubiarkan Mama Rina bergoyang di atasku. Setelah itu aku bangkit karena tak tahan untuk tidak mencumbui dua bukit ranumnya. Gara-gara itu goyangan Mama Rina melambat. Tak lama setelah itu ia mendorongku agar rebah lagi. Agaknya ia kurang bebas bergerak. Begitu aku rebah, Mama Rina langsung tancap gas.
Ritme goyangannya makin kencang sebelum kemudian tubuhnya meregang disertai desahan panjang dari mulutnya yang indah. Ia rebahkan lagi tubuhnya di atasku. Nafasnya memburu, sementara kedua tangannya mencengkeram kuat-kuat bahuku.
“Udah orgasme, Ma?”, tanyaku mesra di telinganya.
“Iya, sayang … Ohh …”, jawab Mama Rina terengah-engah.
Terbersit rasa bangga dalam hatiku. Aku berhasil membuat Mama Rina orgasme. Kubiarkan ia menikmati orgasmenya beberapa saat. Setelah nafasnya kembali tenang, kuminta ia untuk menungging. Tanpa diminta dua kali, Mama Rina beringsut menuruti permintaanku. Begitu ia sudah siap, kutancapkan “milikku” ke dalam “miliknya”. Mama Rina langsung mendesah lirih, “Oohhh …” saat “milikku” tertanam dalam-dalam di “miliknya”.
Aku pun mulai melakukan gerakan maju-mundur pelan-pelan. Kunikmati betul-betul momen yang selama ini hanya ada dalam imajinasiku. Kuusap lembut pantat Mama Rina, merasakan kelembutannya.
Setelah itu tanganku turun ke dadanya, meremas-remasnya dengan penuh perasaan. Kemudian, gerakanku kupercepat. Beberapa kali Mama Rina memekik tertahan saat “milikku” menghunjam dalam ke “miliknya”. Tangannya mencengkeram kuat-kuat seprai tempat tidur.
Gerakanku makin cepat ketika kurasakan “laharku” dalam “kawahku” akan meledak. Aku tak bisa menahan desahanku saat spermaku kutumpahkan ke pantat Mama Rina. Mama Rina merebahkan tubuhnya di ranjang, sementara aku masih bertumpu pada kedua lututku, merasakan detik-detik puncak kenikmatan hingga tetesan spermaku yang terakhir. Setelah itu aku turun dari ranjang untuk mengambil tisu.
Mama Rina masih tertelungkup di ranjang, meski tubuhnya sudah kubersihkan dari spermaku. Kubaringkan tubuhku di sampingnya. Mataku menerawang ke langit-langit kamar dengan pikiranku melayang. Aku telah memulai satu babak baru dalam kehidupanku. Kenikmatan seks. Meski terasa sebentar, tapi aku yakin efeknya akan sangat panjang. Apalagi aku melakukannya dengan Mama Rina yang notabene Mama tiriku, istri kedua Papa.
Saat tengah melamun, kudengar Mama Rina menghela nafas. Kumiringkan tubuhku dan memeluknya.
“Mama marah ya?”, ujarku memecah kesunyian. Mama Rina tak menjawab. Kupalingkan wajahnya ke arahku. Kulihat kedua matanya basah. Ia menangis. Aku jadi merasa bersalah. Kudekap erat tubuhnya.
“Maafin aku ya, Ma”, ucapku lirih.
Mama Rina tak menjawab. Bahkan kemudian ia melepaskan pelukanku, membenahi selimut dan berbalik memunggungiku. Tentu saja hal itu membuatku salah tingkah. Setelah diam beberapa saat, Mama Rina kupeluk dari belakang sambil menciumi rambutnya. Mama Rina bergeming.
Sesekali kudengar isaknya tertahan. Keheningan yang merebak dan Mama Rina yang masih saja membisu membuatku kikuk. Memang aku semakin merasa bersalah, tapi mau apa lagi? Semuanya sudah terjadi. Percuma disesali.
Karena merasa tak dihiraukan Mama Rina, aku beranjak dari ranjang, kukenakan bajuku. Lalu aku kembali ke kamarku. Saat itulah aku baru ingat kalau komputerku masih menyala. Artinya, yang kulakukan dengan Mama Rina terekam di situ. Kuputar ulang rekaman itu.
Kupandangi tak berkedip adegan ranjangku dengan Mama Rina yang berdurasi sekitar 23 menit terhitung sejak aku mulai mengusilinya. Kusimpan file rekaman itu dalam folder yang kusembunyikan dengan file yang lain.
Meski mencoba terpejam, tapi aku tak bisa tidur. Pikiranku berkecamuk, antara bangga bisa membuat Mama Rina orgasme, dengan rasa bersalah. Mungkin Mama Rina juga merasa bersalah telah melakukan persetubuhan denganku dan ia menyesalinya. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana saat bertemu Mama Rina esok paginya. Yang jelas, pasti akan canggung.
Entah kenapa, tiba-tiba muncul rasa kesal pada Mama Rina ketika aku bangun tidur pagi harinya. Jika memang tak ingin itu terjadi, seharusnya ia tak mengajakku masuk ke kamarnya. Bagaimana pun juga, aku laki-laki dewasa dan Mama Rina adalah orang lain yang kebetulan dijadikan istri kedua oleh Papa.
Mungkin saja ia malu telah kutiduri, dan menutupi rasa malunya dengan menangis. Kekesalanku kemudian malah melunturkan rasa bersalahku. Aku bertekad untuk membuang jauh-jauh kecanggungan pada Mama Rina. Justru sebaliknya, akan kutunjukkan pada Mama Rina kalau aku benar-benar menyukainya. Kekesalanku pada Mama Rina membuat semangatku menyala lagi.
Bergegas aku bangkit dari tempat tidur. Saat sayup-sayup kudengar gemercik air dari kamar mandi, kuraih handukku. Dengan langkah ringan kumasuki kamar Mama Rina yang terbuka lebar. Kuketuk pintu kamar mandi dari dalam kamar tidurnya.
Ma, ikutan mandi dong”, ujarku begitu Mama Rina membuka pintu sedikit dan menampakkan wajahnya. Sebuah handuk ia tutupkan di tubuhnya yang basah. Mama Rina tampak kaget melihat permintaanku yang tiba-tiba itu.
“Boleh ya, Ma? Aku pengen sekali-sekali dimandiin Mama”, rayuku dengan wajah memelas. Mama Rina menatapku dalam-dalam. Ia seperti sedang berpikir. Mungkin sedang menimbang-nimbang, apakah memperbolehkan atau tidak. Aku mematung tepat di depan pintu kamar mandi menunggu jawabannya.
Hatiku girang bukan kepalang ketika Mama Rina mundur sambil membuka pintu kamar mandi. Tanpa sungkan aku nyelonong masuk, menggantung handuk di hanger, lalu melepas baju dan celanaku. Tak kuhiraukan Mama Rina yang mematung di depan pintu kamar mandi. Kuguyur tubuhku dengan air yang mengucur dari shower.
Tanpa beban, kutoleh Mama Rina dan kuajak untuk bergabung di bawah pancuran air, tapi Mama Rina bergeming. Kuhampiri ia, kuambil handuk yang ia pegangi untuk menutup sebagian tubuhnya dan kugantung di hanger, lalu kugamit tangannya dan menggandengnya menuju shower.
Saat itu sebetulnya aku sudah terangsang. Aku yakin Mama Rina tahu aku terangsang karena jelas-jelas “senjataku” mulai membesar, tapi belum berdiri. Aku berharap ia pun terangsang melihat “milikku”. Tapi aku menahan diri agar Mama Rina merasa nyaman dulu. Aku tak ingin terlihat grusa-grusu. Aku menjauh dari shower untuk menggosok gigiku, sementara Mama Rina mulai membasuh tubuhnya dengan sabun cair.
Usai menggosok gigi, aku kembali ke bawah shower, meminta sabun dari Mama Rina dan menyabuni diriku sendiri. Setelah itu aku berpindah ke belakang Mama Rina untuk menyabuni punggung sampai ke kakinya. Sejauh itu Mama Rina masih diam membisu. Tapi aku tak peduli.
Aku terus saja menyabuni paha dan betis belakangnya sebelum kemudian beralih ke betis dan paha depan. “Miliknya” yang tepat berada di depan hidungku membuatku tergoda untuk memagutnya. Aku bertahan untuk tidak melakukannya.
“Gantian, Ma”, ujarku sambil berdiri dan memunggunginya. Mama Rina menuruti permintaanku. Sambil berlutut, Ia sabuni punggung hingga betisku, persis seperti yang kulakukan padanya. Kuputar tubuhku hingga Mama Rina bisa beralih menyabuni betis dan paha depanku.
Tak hanya itu, Tanpa kuminta, Mama Rina menyabuni juga “senjataku”. Mau tak mau, “senjataku” pelan tapi pasti makin mengeras dan berdiri. Agaknya Mama Rina juga menahan diri. Buktinya, setelah itu ia bangkit dan menghidupkan lagi showernya. Berdua kami menguyur tubuh dari busa sabun. Semerbak wanginya membuatku makin bergairah.
Sesaat kemudian Mama Rina berjalan menuju hanger dan mulai membersihkan tubuhnya dengan handuk, sementara aku masih mengguyur tubuhku dengan air shower. Saat Mama Rina mulai memakai baju, aku menyusulnya dan menghanduki tubuhku. Saat itulah kupeluk Mama Rina dari belakang.
Ia tampak seperti kaget dan berusaha menyingkir dariku. Kupererat pelukanku sambil mencumbui rambutnya yang basah, sementara satu tanganku bergerilya di dadanya dan satu lagi di pahanya.
Tak lama kemudian kuputar tubuh Mama Rina agar menghadap ke arahku. Mama Rina memandangku dengan tatapan yang tak kumengerti maknanya. Tapi aku sudah kepalang nekad. Dengan lembut kupagut bibirnya. Mama Rina diam saja, tak membalas ciumanku. Masa bodoh, pikirku.
Kuhujani bibirnya dengan ciuman lembut, kemudian turun ke lehernya. “Senjataku” menempel ketat di perutnya. Sedikit demi sedikit kudorong Mama Rina sampai ke dinding dekat pintu kamar mandi. Dengan begitu aku lebih mudah mencumbui Mama Rina tanpa khawatir ia terdorong lalu jatuh.
Dari leher, cumbuanku beralih ke kedua bukitnya.
“Sudah, Lang … sudah …”, desisnya lirih disertai dorongan di bahuku. Aku tak menggubrisnya. Kumainkan lidahku di kedua putingnya bergantian melalui belahan dasternya. Setelah puas “menyusu”, pelan-pelan ciumanku beralih, turun ke perutnya, dan berakhir di “miliknya” yang tertutup celana dalam. Satu tanganku menyibak dasternya. Mama Rina merapatkan kedua pahanya, tapi aku pantang menyerah. Kujulur-julurkan lidahku di sela-sela pahanya.
“Sudah, Lang …”, sekali lagi Mama Rina mencoba mendorongku ke belakang. Tanganku menggenggam kuat-kuat pinggulnya sambil terus memainkan lidahku. Saat dorongannya melemah, kulepas celana dalam Mama Rina.
“Jangan, Lang”, cetusnya sambil menahan celana dalamnya yang sudah melorot sampai ke paha. Aku tak memaksa. Kulanjutkan jilatanku di “miliknya” yang sudah tak tertutup celana dalam. Pelan-pelan kuisyaratkan pada Mama Rina untuk membuka kedua kakinya. Semula ia bergeming, tapi sedikit demi sedikit mulai merenggang.
Kesempatan itu tak kusia-siakan. Gempuran lidahku di “miliknya” makin gencar hingga membuatnya tak bisa menahan desah. Genggaman di celana dalamnya pun melemah yang membuatku dengan mudah melepas celana dalamnya sampai ke kakinya.
Mama Rina berhasil kubuat terangsang. Kedua kakinya makin terbuka lebar. Tangannya mencengkeram kepalaku, tapi tidak bermaksud mendorongku. Justru seolah memintaku untuk tak menghentikan jilatanku. Desahannya terdengar begitu merdu di telingaku. Desah perempuan yang terbakar birahi. Pinggulnya bergoyang seirama dengan permainan lidahku. Tak lama kemudian, kedua kakinya menegang dan agak gemetar. Ia orgasme.
Tak perlu menunggu lama untuk babak berikutnya. Mama Rina ganti jongkok di depanku sementara aku bersandar di dinding. Saat ia menghisap “milikku”, kubuka dasternya. Kami telanjang lagi. Kunikmati setiap hisapannya, seakan itu adalah yang terakhir.
Selesai melakukan oral, Mama Rina berdiri dan langsung menciumku. Kuputar tubuhnya ke arah dinding. Sambil berciuman, kuangkat satu kakinya dan kubungkukkan sedikit tubuhku agar aku bisa menghunjamkan “milikku” ke “milik” Mama Rina.
Ia memekik lirih, disusul dengan desahan panjang saat “senjataku” mentok di dalam “miliknya”. Kuminta Mama Rina berpegang erat di bahuku. Dengan begitu ia bisa bergelayut di tubuhku dan aku bergoyang maju-mundur.
Setelah beberapa genjotan, aku keluar dari kamar mandi dengan Mama Rina masih menggelayut. Gerakan saat berjalan menuju ranjang ternyata tak kalah nikmat, karena sama juga dengan bergoyang. Sampai di ranjang kurebahkan Mama Rina dan kami lanjutkan pertarungan babak kedua sampai tuntas.
Tak seperti kemarin, Mama Rina terlihat lebih rileks usai percintaan itu. Ia rebahkan tubuhnya di atas tubuhku yang masih terengah-engah, sehingga sperma yang kutumpahkan di perutnya menempel di perutku juga. Tapi ia sama sekali tak terlihat risi. Bahkan ia pun tak pelit bicara.
“Lang, sebetulnya apa sih maksudmu?”, tanyanya membuka percakapan. Aku bisa menebak arah pembicaraannya.
“Terus terang aku jatuh cinta sama Mama waktu pertama kita bertemu”, jawabku.
Mama Rina yang semula merebahkan kepalanya di dadaku berpaling menatapku.
“Tapi itu ‘kan nggak mungkin, Lang. Gimana pun juga aku Mamamu”, tukas Mama Rina.
“Memang nggak mungkin sih. Tapi orang kalau sudah terlanjur jatuh cinta gimana hayo?”, cetusku. Aku senang dengan percakapan ini, karena merupakan kesempatanku untuk mencurahkan perasaanku pada Mama Rina.
“Aku suka cemburu kalo liat Mama mesra sama Papa”, lanjutku. Mama Rina mencubit mesra lenganku.
“Mama pikir kamu cuma nafsu aja”, kata Mama Rina dengan tatapan mata penuh selidik.
“Nafsu itu ‘kan timbulnya dari cinta, Ma. Mana mungkin nafsu kalau nggak ada cinta”, kilahku.
“Kalo cowok sih bisa aja, Lang”, sergah Mama Rina.
“Yang namanya cowok tuh seperti kucing. Asal liat ikan asin langsung deh diembat”, lanjutnya.
“Ya, tapi ‘kan nggak semua cowok”, aku tak mau kalah.
“Iya deh, Mama ngalah”, ujar Mama Rina.
“Jadi boleh ya Ma, aku cinta sama Mama?”
“Kok balik nanya? Tadi katanya terlanjur cinta, gimana sih?”, tutur Mama Rina dengan nada manja. Aku nyengir.
“Terima kasih ya, Ma. Daripada aku onani terus hayo …”, selorohku. Lagi-lagi Mama Rina mencubitku.
“Oh iya, tadi Papa telepon. Katanya minta dijemput jam 11”, kata Mama. Spontan wajahku kecut. Mama Rina melihat perubahan air mukaku.
“Kok gitu? Bukannya seneng mau ketemu Papa?!”, ujarnya menanggapi responku. Aku tak menjawab. Kuusap lembut rambut Mama Rina sambil melihat jam dinding. Jam 8 pagi.
“Lagi yuk, Ma”, ajakku spontan. Mama Rina menengadahkan wajahnya dan menatapku dengan tatapan heran.
“Memangnya masih bisa apa?”
“Coba aja”, tantangku. Kubimbing tangan Mama Rina ke kemaluanku. Ia tanggap maksudku. Ia remas dan kocok “milikku”, sementara ia geser maju tubuhnya hingga kami bisa saling berciuman. Dalam waktu singkat “senjataku” siap tempur lagi. Apalagi ketika Mama Rina mengulumnya beberapa saat. Sekali lagi kami tenggelam dalam lautan birahi yang memabukkan.
Tepat jam 11 aku dan Mama Rina sudah berada di bandara. Sekitar 15 menit kemudian kulihat Papa di antara para penumpang keluar dari gate kedatangan. Memang tampak kalau Mama Rina berusaha menjaga perasaanku. Tapi tak urung aku melengos buang muka saat Papa mengecup bibir Mama Rina begitu mereka bertemu.
Aku tak bisa menyalahkannya. Ia istri sah Papa. Aku tak berhak cemburu walaupun tubuhku dan tubuh Mama Rina sudah menyatu dalam panasnya bara birahi. Ibarat kata, meski sudah kunikmati tubuh Mama Rina, tapi bukan berarti aku memilikinya. Aku sadar betul akan hal itu.
Sekeluar dari bandara kami singgah di restoran untuk makan siang. Usai makan, aku minta langsung diantar ke kos, tapi Papa keberatan. Katanya ia capek sekali. Kalau harus mengantarku akan butuh waktu lama karena jauh. Ia berjanji malam harinya akan mengantarku.
Setiba di rumah Papa, aku langsung tiduran di kamar. Tapi aku tak bisa tidur karena pikiranku melayang membayangkan apa yang dilakukan Papa dan Mama Rina di dalam kamar mereka. Isengku pun kambuh. Kunyalakan komputer. Aku ingin memastikan dugaanku. Ternyata benar. Di layar komputer aku melihat Papa dan Mama Rina berciuman sambil melepas baju masing-masing. Artinya mereka baru mulai.
Dengan jantung berdebar kusaksikan adegan percintaan mereka. Diam-diam aku terangsang melihat mereka bercumbu di ranjang dalam keadaan telanjang bulat. Hanya saja tak berlangsung lama. Dari timer yang tertera di layar monitor, tak sampai 5 menit Papa sudah terkapar di sisi Mama Rina. Saat Papa terbaring kelelahan, Mama Rina beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Setelah itu Mama Rina mengenakan daster dan berbaring di sebelah Papa.
Aku pun kemudian mematikan lagi komputerku dan kembali rebahan di ranjang. Otakku terus berpikir. Mungkin Mama Rina melakukan masturbasi karena merasa tak puas dengan Papa. Mungkin hal itu pula lah yang membuatnya tak menolak saat aku mulai mencumbuinya. Ada sepercik rasa bahagia telah memberi Mama Rina kepuasan batiniah.
Entah berapa lama aku melamun, hingga tak menyadari kalau Mama Rina membuka pintu kamarku. Di tangannya ada sesuatu.
“Ngelamun aja, Lang. Mama kirain sudah tidur kamu”, ujar Mama Rina sambil menutup pintu kamar lalu melangkah menuju ranjangku.
Aku menoleh ke arahnya seraya bertanya, “Apa itu, Ma?”
Mama Rina tersenyum penuh arti, “Ini oleh-oleh dari Papa buat kamu”. Ia sodorkan benda yang ternyata HP model terbaru saat itu.
Seketika aku bangkit dari berbaringku dan duduk di sebelah Mama Rina. Kubuka kardus pembungkus HP dan kuamati isinya.
“Gimana, Lang? Suka nggak?”, tanya Mama Rina.
“Suka. Mana Papa, Ma? Aku mau bilang terima kasih…”, aku pura-pura tak tahu.
“Lagi tidur, sayang. Entar sore aja ngomongnya ya”, kata Mama Rina sambil mencolek hidungku yang kembang kempis karena dipanggil “sayang”. Wajahnya begitu dekat denganku, hingga aku terdorong untuk memagut bibirnya. Mama Rina menyambut pagutanku dan kami berciuman. Sebentar kemudian Mama Rina berdiri.
“Udah ya. Mama balik ke kamar”, katanya. Dengan berat hati kubiarkan Mama Rina berlalu dari kamarku. Ingin rasanya kucegah ia lalu mengajaknya bercinta lagi saat kupandangi tubuh mungilnya yang terbalut daster tipis dan sexy berjalan menuju pintu, tapi tak kulakukan. Tak etis rasanya menidurinya di saat Papa ada di rumah. Toh masih banyak waktu dan kesempatan di kemudian hari. Aku pun kembali tenggelam dalam kesunyian.
Obsesiku pada Mama Rina berpengaruh pada hubunganku dengan Nina. Aku jadi mengabaikannya. Malam minggu pun aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah Papa daripada mengapelinya. Tak heran jika kemudian kami putus. Sebaliknya, hubungan gelapku dengan Mama Rina makin menggelora.
Setiap ada kesempatan dan Mama Rina tidak sedang menstruasi, kami memadu kasih dalam balutan peluh birahi kenikmatan. Karena aku ingin “dikeluarkan di dalam”, kubeli kondom. Rasanya memang berbeda, tapi aku tak perlu terburu-buru mencabutnya saat akan”keluar”.
Dalam sebuah kesempatan, Mama Rina menceritakan padaku ihwal hubungannya dengan Papa yang notabene usianya dua kali usia Mama Rina. Mama Rina adalah anak sulung dari sahabat Papa waktu kuliah, sebut saja namanya Pak Wira.
Pak Wira yang tahu kalau usaha Papa sukses minta tolong pada Papa untuk mencarikan kerja buat Mama Rina yang baru lulus SMA. Sayangnya waktu itu tidak ada lowongan di perusahaan Papa. Tapi Papa membantu Pak Wira, Papa tetap menerima Mama Rina dan menjadikannya sebagai asisten pribadi.
Kisah klasik antara Papa dan Mama Rina pun terjadi. Papa jatuh cinta pada Mama Rina dan bilang kalau ingin menikahinya. Karena merasa berhutang budi, Mama Rina menerima pinangan Papa yang akhirnya menimbulkan kehebohan di keluarga besarku.
Mama Rina tahu kalau istri Papa yang tak lain adalah Mama kandungku tak setuju. Sebetulnya Mama Rina sempat merasa ragu, antara melanjutkan pernikahan atau membatalkan, karena selalu diliputi rasa bersalah pada Mama. Tapi Papa bersikeras ingin menikahinya dan berjanji akan berlaku adil pada kedua istrinya.
Terkait dengan hubungan gelap kami, Mama Rina bilang kalau ia kerap dihantui rasa bersalah pada Papa. Tapi, sambil terisak ia mengatakan kalau ia juga jatuh cinta padaku ketika pertama kali bertemu di rumah sakit. Postur tubuhku yang tinggi besar membuatnya mengira kalau aku adalah anak sulung Papa. Tapi meski kemudian ia tahu aku anak bungsu dan usiaku lebih muda darinya, ia tak bisa mengusir perasaan cinta itu, walaupun ia menyadari kalau itu salah.
Setelah hubungan intim malam itu sebenarnya Mama Rina bertekad tak ingin mengulanginya lagi. Tapi, seperti pengakuan Mama Rina, ia tak mampu menghalau hasratnya setiap kali berdekatan denganku. Cintanya padaku lah yang membuatnya pasrah padaku.
Aku termenung lama memikirkan curhat Mama Rina. Tapi seperti halnya dia, aku pun sudah terlanjur jatuh cinta padanya dan tak ingin hubungan kami berakhir begitu saja.
Suatu sore, setahun sejak hubunganku dengan Mama Rina, Papa meneleponku saat aku dalam perjalanan pulang kuliah. Katanya, Mama Rina hamil. Ada nada gembira dari ucapannya. Aku sempat kaget. Tapi aku yakin itu bukan benihku karena aku pakai kondom. Kalaupun tidak, selalu kukeluarkan di luar. Hanya saja, yang membuatku was-was, jangan-jangan Mama Rina tak bisa lagi kuajak bercinta karena sedang hamil.
Kekhawatiranku memang tak terbukti. Mama Rina masih mau memberiku “jatah”, tapi aku diminta untuk tidak terlalu “heboh” menggoyangnya, karena takut akan berdampak buruk pada janinnya. Aku bisa memaklumi itu. Kami masih aktif melakukannya di malam minggu, saat Papa tak di rumah tentunya, sampai kandungan Mama Rina berusia 6 bulan.
Bulan ketujuh kehamilan Mama Rina, Papa memintanya untuk tinggal di rumah orang tua Mama Rina di kota B. Penyebabnya karena Papa makin sering melakukan perjalanan ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Ia khawatir pada kondisi Mama Rina.
Aku merasa sangat kehilangan ketika Mama Rina akhirnya kembali ke rumah orang tuanya. Walaupun hanya sementara sampai bayinya lahir, rasa kehilanganku tak dapat kupendam. Memang Mama Rina masih sering meneleponku, menanyakan kabarku, tapi aku tak sanggup jauh darinya. Di sisi lain, aku tak keberanian untuk sendirian mendatanginya di kota B, karena takut akan menimbulkan kecurigaan orang tua Mama Rina.
Ketika anak Mama Rina lahir, Papa yang sudah ada di kota B seminggu sebelumnya, menyuruhku datang ke kota B untuk menengok adik baruku. Setiba di rumah sakit, Mama Rina terlihat lebih gemuk dari sebelumnya. Ia tampak ceria dengan bayi mungil dalam gendongannya. Papa pun terlihat sangat bahagia.
Aku makin tak berharap bisa mengulang kebersamaan bersama Mama Rina ketika Papa memutuskan untuk pindah ke kota B. Rumah yang biasa ditempatinya dikontrakkan. Papa berpesan padaku untuk cepat-cepat menyelesaikan kuliahku, karena ia ingin aku meneruskan kepemimpinan di perusahaannya. Aku tak terlalu memikirkan hal itu. Yang kupikirkan hanya Mama Rina. Sudah jelas bahwa hubungan kami harus berakhir karena tak ada lagi kesempatan.
Tak dapat kupungkiri, kalau aku masih menyimpan hasrat pada Mama Rina, karena setiap kali mengunjunginya di kota B, gairahku muncul. Begitu kuatnya hasrat itu hingga ketika ada kesempatan berdua saja dengan Mama Rina, terucap kata kalau aku ingin melakukannya lagi.
Ada sepercik harapan saat Mama Rina menjawab”, Gimana caranya? Keadaan ‘kan nggak memungkinkan?” Berarti Mama Rina pun masih membuka pintu kesempatan untukku. Hanya saja memang tak mungkin melakukannya, karena ada orang tua dan adik Mama Rina. Saat itu Papa sedang mengunjungi Mama di kota S. Aku cuma bisa menunduk lesu. Tapi aku tak putus asa. Kucoba sebuah cara, walaupun aku tak yakin ia bersedia.
“Mama mau nggak ke tempatku?”, pintaku. Maksudku adalah hotel tempat aku menginap. Mama Rina tak segera menjawab. Ia cuma tersenyum sambil menimang-nimang bayi perempuannya yang tak lain adalah adik tiriku.
Di hotel, sepulang dari rumah Mama Rina, kuhabiskan waktu dengan melamun dan berharap Mama Rina datang. Tapi hingga aku ketiduran siang itu, harapan tinggal harapan. Yang kutunggu hadirnya tak kunjung datang sampai aku bangun lagi sore harinya.
Wajahku berubah ceria campur berdebar-debar ketika suara pintu kamarku diketok. Waktu itu aku habis mandi dan bersiap turun ke restoran hotel untuk makan malam. Aku nyaris meloncat kegirangan saat kulihat Mama Rina di depan pintu. Spontan kuminta ia masuk ke kamar.
Mama Rina bilang ia mau belanja susu untuk bayinya dan minta aku menemaninya. Tentu saja aku bersedia, tapi tak serta merta kami berangkat. Kami bercumbu lebih dulu, menyalurkan birahi yang lama terpendam. Tampaknya Mama Rina pun menyimpan hasrat yang sama. Permainannya lebih hot dari sebelumnya, seolah tak ingin setiap detik terlewati sia-sia.
Dari pengalaman itu, hidupku kembali bergairah. Aku yakin telah menemukan cara lain untuk tetap berhubungan dengan Mama Rina. Tapi ternyata dugaanku salah. Tak ada kesempatan yang sama terjadi dua kali. Beberapa kali setelah itu aku rajin mengunjungi Mama Rina di kota B, tapi harapanku untuk bisa menikmati kebersamaan di kamar hotel tak pernah kesampaian.
Bukannya Mama Rina menolak, tapi keadaan yang tak memungkinkan. Aku harus menelan kekecewaan demi kekecewaan. Aku kembali terpuruk dalam kesendirian. Celakanya, hal itu mengganggu prestasi belajarku. Beberapa nilai mata kuliahku jeblok. Mama dan kakak-kakakku menegurku atas kemerosotan kuliahku.
Dalam kegamangan, aku belajar untuk menerima kenyataan. Sulit memang, tapi dengan niat yang kuat, akhirnya aku bisa menemukan sebuah jawaban. Ya, aku menyadari hikmah dari semua ini. Sejak awal memang sudah kusadari kalau aku tak akan punya peluang untuk memiliki Mama Rina seutuhnya.
Mata hatiku dibutakan oleh bayang-bayang kehangatan tubuh Mama Rina. Cinta dan birahi yang berbaur jadi satu bagaikan anggur kenikmatan yang begitu sulit kutepis, hingga pada akhirnya aku tahu kalau itu semua hanya fatamorgana.
Dengan susah payah, aku pun berhasil menyelesaikan studiku, meskipun lebih lambat 1 tahun. Dan sesuai janjiku pada Papa, aku bekerja di perusahaannya mulai dari bawah, dengan perlakuan yang sama seperti pegawai lain. Ini Papa maksudkan agar aku memahami hal-hal mendasar sebelum tiba saatnya bagiku memegang kendali perusahaan.
Akan halnya Mama Rina, hubungan kami tetap berjalan baik-baik saja, sebagaimana layaknya ibu dan anak. Tak lebih dari itu.
Post a Comment