PASANG BANNER

Asmara Antara Pekan Baru - Jakarta

 


Hujan turun demikian derasnya, Jakarta kembali kebanjiran akibatnya macet dimana mana.
Jam baru menunjukkan pukul 15 lewat 20 menit, antrian di depan pintu toll Rawamangun sudah hampir mencapai lampu merah Hutan kayu. Tidak ada lagi yang dapat aku lakukan untuk keluar dari lingkaran kemacetan ini, karena posisi mobilku sudah ditengah, kiri kanan.. Kena, begitu juga depan dan belakang.
Persis diantrian sebelah kiri kulihat seorang gadis dengan rambut dikepang 2 memandangi kemacetan dengan senyum dikulum.
Mungkin bagi dia tidak ada yang perlu dipermasalahkan, tinggal duduk enak dikursi bus yang empuk sambil menikmati musik dan menonton tayangan video. Lain halnya dengan aku yang harus terus menerus menginjak kopleng dan rem serta stress takut bersenggolan dengan kendaraan lain, betul betul capek lahir bathin.
Jakarta-Pekanbaru PP, demikian yang tertulis dikaca depan bus tersebut. Ini adalah salah satu bus terbaik yang masih setia melayani trayeknya walaupun terus menerus digempur dengan tarif super murah oleh perusahaan penerbangan.
Dengan sedikit mengangkat kepala aku dapat melihat keseluruhan dari bus tersebut, warnanya kombinasi kuning, hijau dan dipermanis dengan garis garis warna ungu dibagian belakangnya.
Isinya hanya 6 orang, berarti 3 awak bus plus 3 penumpangnya. Sungguh saat ini adalah masa masa sulit buat pengusaha bus jarak jauh, apalagi dengan trayek dari Jakarta ke kota kota di pulau Sumatera. Harga tiket pesawat adakalanya lebih rendah dari pada harga karcis bus executive. Tidak cukup dengan derita itu saja, jalan jalan disepanjang lintas Sumatra kondisinya betul betul menggenaskan. Kita tidak bisa lagi memilih” Jalan mana yang akan ditempuh, tetapi mesti memilih lobang mana yang akan dimasuki” yang tersisa bukan lagi jalan tetapi lobang yang sambung menyambung dengan panjang ribuan kilometer.
Sorry nglantur..!, bus dan gadis tersebut tiba tiba mengusik kenangan lamaku dengan seorang gadis dari Pekanbaru. Apalagi dari station FM yang kustel sebagai penghilang jemu, berkumandang lagu lama” When a man love a woman” oleh Michael Bolton. Lengkaplah sudah pemicu layar kenangan tersebut, semua tiba tiba tergambar dengan jelas di depan mata.
Kejadiannya terjadi beberapa tahun yang lalu, waktu itu musim kemarau sedang berada dipuncaknya. Disepanjang pulau Kalimantan dan pulau Sumatera terjadi kebakaran hutan yang maha hebat. Asap menyelimuti hampir sepertiga dari wilayah Indonesia malah sampai menyeberangi selat Melaka, dengan menutup rata Singapura serta membuat hilangnya cahaya matahari di beberapa negara bahagian di Malaysia.
Pelabuhan udara Sultan Syarief Kasim, Pekanbaru sudah 1 mingu ditutup karena jarak pandang yang hanya beberapa meter saja. Jangankan buat pilot pesawat yang butuh jarak pandang yang jauh, para pengemudi kendaraan bermotorpun sudah sangat kesulitan untuk melaju dengan aman di jalan raya.
Aku baru saja menyelesaikan tugas di salah satu perusahaan minyak di Duri dan harus segera kembali ke Jakarta, tidak ada kamus menunggu dalam pelaksaan tugas dari kantorku. Apa boleh buat aku mesti kembali dengan menumpang bus antar Kota dan antar Propinsi. Aku sudah membayangkan ketidaknyamanan yang akan dialami selama lebih kurang 36 jam diatas bus dengan menelusuri jalan lintas sumatera sepanjang 1350 km dan melintasi 4 propinsi di lintas tengah.
Tetapi rupanya bayangan tidaklah selalu sejalan dengan kenyataan. Jam 2 siang aku tiba di loket sebuah perusahaan bus jarak jauh yang direkomendasikan oleh salah seorang teman sebagai salah satu perusahaan bus yang memiliki armada dan pelayanan terbaik di Indonesia.
Begitu memasuki loket aku mulai ragu” masih ada tempat nggak” aku bergumam dalam hati, soalnya penumpang sudah begitu ramainya, maklum disamping karena bandara ditutup, hari itu juga bertepatan dengan hari pertama libur sekolah secara nasional.. Semua bangku diruang tunggu penuh terisi. Disetiap sudut terlihat koper dan kardus yang berisikan barang bawaan calon penumpang semrawut, bergeletakan dan membuat kaki sulit dilangkahkan.
“Abang mau kemana bang,” suara lembut petugas loket menyambut kedatanganku. Dia duduk dibelakang meja panjang yang berbentuk siku siku, sehingga sekaligus menjadi pemisah antara petugas dengan para penumpang.
“Ke Jakarta dik, masih ada tempat nggak,” aku menjawab sambil melirik belahan bajunya yang sedikit terbuka. Persis di payudara kirinya tertulis namanya ‘Sulistyowati’. Dik Sulis ini berwajah asli solo dengan kulit kuning langsat dan sangat serasi dengan seragam yang dia pakai yaitu kombinasi hijau, kuning dan ungu.
“Wah.. Abang sungguh beruntung”
“Maksudnya..”
“Tuh.. Ibu itu baru saja membatalkan keberangkatannya, kalau tidak, Abang kena menunggu tiga hari untuk dapat tiket,” dia berkata sambil menujuk pada seorang Ibu yang baru saja lewat disampingku.
“Oh.. Terimakasih Dik Sulis,” aku berkata sambil lebih mebungkukkan badan untuk dapat lebih jelas melihat belahan bajunya. Wouw dia punya payudara cukup subur, mungkin 36B kali.
“Nih tiketnya bang,” dia menyerahkan tiket sambil menyebutkan ongkos yang mesti kubayar.
Cukup mahal memang, tetapi dibandingkan dengan tarif pesawat harganya tidaklah sampai tiga puluh persennya. Aku segera membayar harga tiket dan berlalu untuk mecari tempat duduk. Kulepaskan pandangan kesekeliling ruangan, tetapi semua bangku penuh, dan orang orang yang berdiri justru lebih banyak dari yang kebagian tempat duduk. Dalam hati aku berkata,
“Aduh.. Ini baru jam setengah tiga sedangkan jadwal busku jam empat, berdiri 1 jam setengah lumayan juga”
Aku mengoyang goyangkan kaki sambil mengamati tiketku. Rupanya bus yang akan kutumpangi betul betul bus yang istimewa. Mereka menamakannya bus” Super Executive”. Sebuah sebutan yang pantas menurutku. Di jajaran sebelah kiri hanya ada satu tempat duduk berjejer kebelakang sedangkan disebelah kanan terdiri dari dua buah tempat duduk.
Bangku bangkunya dilengkapi dengan foot leg dan berbusa empuk persis seperti kursi executive class di pesawat. Di antara sisi tempat duduk dan kaca jendela dijepitkan beberapa bantal kecil berwarna biru muda. Disandaran kepala terdapat selimut hangat dengan warna mirip bendera Italy, merah, putih dan hijau. Persis diatas kepala terdapat dua buah ventilasi ac yang dapat dirubah baik volume maupun arah semprotannya.
Melengkapi itu semua adalah sebuah TV 17 inchi tergantung diplatfon disebelah kiri pengemudi, sehingga memungkinkan semua penumpang melihatnya dengan jelas. Audionya keluaran salah satu pabrik di Jerman, suaranya jernih dan lembut karena dilengkapi dengan subwoover.
Dibelakang tersedia sebuah toilet yang dilengkapi dengan tissue, air, gayung dan sebuah cermin kecil didindingnya, tetapi ini ‘Hanya Untuk Buang Air Kecil’ demikian sederet tulisan di depan pintu masuk. Tak lupa mereka juga memanjakan para perokok dengan menyediakan ruang khusus untuk merokok atau smoking area.
“Para penumpang jurusan Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya dipersilahkan menaiki kendaraan, karena bus anda akan segera diberangkatkan”
Lamunanku terputus dikejutkan oleh suara halus dari pengeras suara dan aku bergegas meninggalkan foto besar yang memamerkan interior bus yang tergantung didinding. Tiba tiba semua penumpang berdiri serentak dan suara suara yang keluar dari mulut mereka sungguh beraneka ragam.
“Oi capeklah baok barang tu.. A” Itu pasti orang Minang, yang populasinya didaerah Riau cukup besar.
“Wes sampeyan naek dulu..” Ini kayaknya dari Surabaya, orangnya kalem berjaket kulit warna hitam, sedangkan temannya memakai kaos warna hijau Persebaya dengan dua gigi emas yang sangat menonjol.
“Tos.. Teteh naik di payun atuh,” nggak salah lagi urang Sunda, mungkin mau ke Bandung.
Aku yang tadinya mau buru buru naik ke atas bus jadi terkesima melihat kesibukan mereka. Ada yang bersalaman, berangkulan dan ada yang saling menggeserkan pipi mereka, bersalaman gaya Arab..
“Silahkan Bang” Si Sulis tersenyum sambil merentangkan tangannya..
Aku melangkah naik ke atas bus dengan menginjak keranjang plastik tempat teh botol sebagai alat bantu untuk mencapai tangga utama yang cukup tinggi. Dalam hati aku bertanya,”Tempat dudukku nomor berapa ya” memang dari tadi aku tidak sempat mencek hal itu. Rupanya aku harus duduk di kursi no. 4C, berarti deretan ke empat dari depan berada disisi sebelah kanan atau bangku dua dua dan persis dipinggir jendela. Wah kebetulan ini adalah tempat duduk favouritku kalau naik bus, karena dengan duduk disamping jendela aku bisa melepaskan pandangan kesegala arah sehingga perjalanan tidak terlalu membosankan.
Aku meletakkan tas ku dirak tepat diatas kepala dan memasukkan beberapa koran serta majalah ke dalam kantong pada bagian belakang, bangku depan.
“Bapak bapak dan Ibu ibu selamat datang di atas bus super executive kami, dan semoga perjalanan anda selamat sampai ditujuan”. Sulis si cewek bertetek besar memberikan kata sambutan persis kayak pramugari dipesawat.
“Bus ini dilengkapi dengan AC, karena itu kami minta anda yang merokok untuk hanya menikmati rokoknya di smoking area yang telah kami sediakan.”
Wah.. Si Sulis kembali melanjutkan kata pengantarnya sambil berjalan pelan ke arah tempat dudukku.
“Dibelakang juga tersedia toilet tetapi hanya dipergunakan untuk buang air kecil saja, kecuali jika anda semua sepakat untuk bersama sama menikmati bau e e..” Sulis tidak melanjutkan kalimatnya karena hampir semua penumpang tertawa terbahak bahak.
“A.. Indak do, indak talok dek awak manahan baun nyo do”
Ibu ibu dibelakangku memberikan komentarnya dalam bahasa Minang.
“Baiklah para penumpang sekalian, terimakasih atas pilihan anda terhadap armada kami dan selamat jalan”
Sulis segera meminta tanda tangan pengemudi sebagai pengesahan surat jalan dan meberikan beberapa copynya kepada kondektur untuk disimpan, kemudian dia menghadiahkan sejumput senyum manis ke arahku sambil melambaikan tangannya.
“Oh.. Sulis, seandainya aku punya sedikit waktu untuk bisa menginap di Pekanbaru, maka aku yakin kesuburan gunung payudaramu akan dapat kudaki, tetapi.. Yah.. Pekerjaan tidak mengenal waktu untuk menunggu”
Setelah kondektur bus selesai membagikan snack, kendaraan mulai bergerak menuju Jakarta dan kulihat jam tanganku persis menunjukkan pukul 4 sore. Wah.. Aku salut atas cara kerja yang profesional dari segenap crew dan pengurus bus, yang dapat mengalahkan perusahaan penerbangan dalam soal tepat waktu keberangkatan.
Lho ada yang aneh kok bangku disebelahku no. 4B masih kosong!!
“Bang ini bangku kosong ya” aku bertanya ke kondektur bus yang berseragam ungu kombinasi hijau.
“Tidaklah bang, mana ada tempat kosong sekarang ini, kayaknya penumpang pesawat tumplek semua kesini, apalagi kan libur sekolah!” dia berkata sambil membetulkan letak barang barang bawaan penumpang agar tidak terjatuh selama dalam perjalanan.
“Tapi.. Ini kosong kok” aku penasaran sambil menepuk nepuk bangku tersebut dengan tangan kiriku.
“Penumpangnya naik di Teratak Buluh” (nama sebuah kampung diluar kota Pekanbaru)
“Oh..” Aku terdiam sambil mengamati deretan toko toko yang berlalu satu persatu seiring dengan kecepatan bus yang makin meningkat.
Pekanbaru, ibukota propinsi Riau memang berkembang dengan pesatnya, maklum dengan kandungan minyak serta gas alam yang melimpah dan potensi hutan yang kaya dengan kayu untuk industri, maka tak heran bangunan bangunan baru seperti kantor pemerintah, ruko dan malah plaza plaza bermunculan dimana mana. Apalagi saat ini perkebunan kelapa sawit dalam skala besar sudah mulai menghasilkan minyak yang pada dasarnya juga akan ikut menaikkan PAD daerah dan memperkuat daya beli masyarakat.
Tetapi satu hal yang selalu menghantui fikiranku adalah” Apakah warga Pekanbaru asli akan bernasib sama dengan saudaranya orang Betawi yang tidak bisa menjadi tuan di tempat kelahirannya sendiri” Semoga tidak demikian, karena factor budaya dan adat istiadat meraka sangat berbeda, sehingga cara pandang mereka terhadap para pendatang juga sangat berbeda.
“When a man love a woman” alunan lembut suara serak Michael Bolton membuat fikir ku merasa rileks, apalagi didukung oleh tempat duduk yang sangat nyaman. Kurebahkan sandaran bangku kebelakang, foot leg kunaikkan selimut segera kututupkan kekaki karena dinginnya ac mulai terasa dan bantal kecil kupeluk buat menghangatkan bagian perut yang terasa kembung diterpa udara dingin
Wah aku betul betul surprise, nggak nyangka kalau ada bus yang demikian bagusnya, sehingga tempat duduknya bisa dirubah menjadi tempat tidur yang cukup memadai buat ditempati selama 36 jam kedepan. Pelan tetapi pasti, seiring alunan lagu dan buaiyan lenggak lenggok bus dalam menapaki setiap tikungan maka mataku mulai berat
“Tidur.. Ah..”
Aku nggak bisa ceritakan seperti apa aku tidur waktu itu.. He he he, yang pasti tidurku begitu nyenyaknya sehingga sama sekali aku tidak menyadari kalau disampingku sekarang telah duduk seorang gadis cantik yang rupanya naik di Teratak Buluh.
“Maaf Bang kalau tidurnya terganggu”
“Oh.. Nggak”
Aku bangun sambil memastikan tidak ada setetes ilerpun yang tak terkontrol sehingga keluar melampaui garis bibir dan dengan ujung telunjuk kubersihkan taik mata yang mungkin nongol disudut sudut mata. Syukur kali ini aku nggak tidur ngiler dan juga nggak ada taik mata, berarti tubuhku masih bisa menjaga martabat tuannya di depan seorang gadis cantik yang belum kukenal.
Kalaulah tadi aku tidur ngiler dan bangun dengan mata penuh dengan ampas airmata, waduh.. ajegile, tentu sigadis disebelah akan hilang selera buat kuajak berkenalan dan alangkah ruginya kalau sepanjang perjalanan 1350 km cuma bengong dan tidur aja.
“Wah jam berapa ini” Aku bertanya pada sendiri sambil melihat jam tangan, ternyata aku tertidur selama dua jam limabelas menit.
“Sekarang sudah jam enam sperempat bang” Gadis disebelahku berbaik hati memberi tahu sambil memandang dengan matanya yang teduh.
“Oh iya, saya kurang tidur semalam dan perjalanan dari Duri ke Pekanbaru sangat melelahkan karena ac mobilnya mati”
Aku memberikan sedikit keterangan tanpa peduli dia butuh atau tidak, hitung hitung balas jasalah karena dia sepertinya memberi perhatian sama aku.
“Pantas tidur abang lelap sekali”
“Oh iya.. Nama saya Dodo, Dodo Djauhari” aku megulurkan tangan untuk berkenalan
“Saya Rostiana, abang boleh panggil Ina saja”
Kami berjabatan tangan, tiba tiba bus menikung kekiri dalam kecepatan yang cukup tinggi akibatnya tubuh Ina terdorong ke arah ku, untung pembatas jok antara kami masih terpasang sehingga hanya kepalanya yang jatuh dalam dekapanku. Rambutnya hitam mengkilap dan menebarkan aroma khas yang memicu mesiu syahwat untuk menggerakkan jiwa dan vital kelelakianku agar bangkit dari tidurnya. Rambut itu begitu terawat, panjangnya hampir mencapai pingul, tetapi dijalin dua ala gadis tahun enampulahan.
“Oh.. Alangkah indahnya kalau rambut itu dibiarkan tergerai bebas dipunggung putih telanjang,” pikiran ngeresku mulai keluar.
Kami sama sama tertawa.
“Ha ha.. Ina, sebaiknya pembatas ini kita angkat aja ya, agar bukan hanya kepala Ina yang bisa abang peluk!” Aku menggodanya sambil mendorong pelan tangannya agar dia bisa duduk dengan benar.
“Wah enak di abang nggak enak di Ina dong” Dia menanggapi godaanku sambil tersenyum.
“Tapi kalau abang berjanji nggak macam-macam, ok lah kita akan angkat pembatas ini.
“Abang janji lah.. Dek, abang tak akan macam macam,” aku sengaja mengucapkan kata kata dek agar mendapat kesan lebih intim.
“Kalau begitu abang akat lah.. Masak Ina pula yang mesti angkat! logat Melayunya masih cukup kental.”
Aku mengangkat balok busa yang memisahkan kursi kami berdua.
“Nah sekarang bangku kita jadi lebih lega kan”
“Betul bang.. Tapi abang sudah janjikan tidak akan macam-macam”
“Abang nih orang baik baik dek, pasti abang nggak bakalan macam macam, karena abang suka yang manis manis”.
Ina tertawa keras sekali, dia merasa lucu dengan kata kataku yang sebetulnya nggak nyambung, tapi pengertiannya benar. Sebagian orang di pulau Sumatera menyebut rasa asam dengan macam.
“Oh.. Jadi abang tuh sukakan manisan ya!”
“Nggak juga.. Abang hanya suka gadis manis seperti dek Ina..”
Rudal rayuan mulai kulepas, dengan sasaran lubuk hati dan benteng cinta si Ina. Melihat gelagat dan cara penerimaan dan sikapnya yang lepas bebas begitu, aku yakin tinggal dalam hitungan jam kedepan aku akan berhasil mengakuisisi gadis manis ini.
“Sudah.. Mulai tuh merayu”.
Dia berkata sambil melirik, wah.. Mata itu begitu bening dan teduh, aku berkata dalam hati, pasti akan sangat menyenangkan melihat mata itu dikala pemiliknya mulai horny. Sayu, teduh dan mengisyaratkan kepasrahan serta kenikmatan surgawi yang ingin segera dia reguk.
“Tidak.. Yang abang katakan benar adanya, kamu memang manis dan cantik kok”
“Ina tahu.. Lelaki tuh kalau sudah merayu pasti ada maunya”
“So pasti itu..”
“Terus terang aja Abang tuh maukan apa”
“Begini dek Ina, abang tadi dari Duri jam 11 pagi, karena buru buru abang minta sopir taksi untuk lansung tancap gas ke Pekanbaru.”
“Sudah.. Jangan berbelit belit gitu lah, terus terang aja”
Tanpa sengaja tangannya menepuk pahaku, oh.. Tangan itu begitu halus membuat aku ingin ditepuk beribu kali lagi.
“Jadi abang tidak sempat makan siang! ha ha ha” Ina tertawa berderai sambil menutupi mukanya dengan kedua belah tangannya.
“Ina tahu sudah maksud abang, abang hendakkan kueh nih kan”
“Semoga Tuhan memberikan hidayahNya kepada orang orang yang mau memberikan makanan, ketika orang lain sedang lapar.. Amin”
Aku berpura pura berdoa sambil membentangkan kedua telapak tanganku.
“Wah menyenangkan sekali punya teman perjalanan seperti abang Dodo nih, kocak rupanya” Ina tersenyum sambil memberikan sepotong bolu gulung dengan selai nanas, yang aku rasa begitu nikmatnya, “Apa karena lapar kali ya!”
Hanya dalam hitungan detik bolu tersebut ludes sudah, tapi rupanya Ina betul betul mempersiapkan makanan yang cukup buat melakukan perjalanan jauh, dan seperti bisa membaca jalan fikiranku dia berkata.
“Bang kita nih kan mau menempuh perjalanan hapir dua hari, kalau mobil nih rusak di tengah hutan kemana kita nak cari makan! makanya Ina sudah siapkan rupa rupa penganan nih”.
“Terimakasih Ina,”.. Ya Tuhan kasihilah orang orang yang selalu membawa makanan yang banyak dalam tasnya dan dengan senang hati berbagi dengan orang disebelahnya” aku kembali pura pura berdoa.
“Sudahlah bang, aku sudah tahu abang nih banyak kali akal nya, nih yang terakhir buat cuci mulut.” Ina memberikan sebuah jeruk yang cukup besar dan manis sekali, sepertinya ini adalah jeruk lokal tetapi rasanya begitu segar.
Demikianlah awal perkanalanku dengan Ina, katanya dia baru saja menamatkan sekolahnya disalah satu SLTA di Pekanbaru dan bermaksud melanjutkan pendidikan disalah satu perguruan tinggi di Jakarta. Tapi aku sedikit ragu dengan apa yang dia bilang. Memang teteknya telah tumbuh dengan sempurna tetapi sikap kekanak kanakannya masih jelas tersisa, begitu juga dengan wajahnya masih begitu polos dan segar layaknya gadis kelas tiga SMP.
Hari itu dia hanya mengenakan baju kaos tanpa kerah berwarna putih dan ada strip coklat yang pas melewati kedua bukit indah di dadanya. Aku bertanya tanya dalam hati, “Kenapa dia tidak pakai celana jean tapi cuma pakai rok hitam setinggi lutut, padahal ac di mobil cukup dingin. Tetapi justru hal tersebut sangat menguntungkan aku beberapa jam kemudian.
TV sudah dinyalakan dan kondektur memutar sebuah video yang bercerita tentang hantu didalam sebuah mobil. Ina demikian ketakukan menyaksikan hantu tersebut sehingga tanpa sadar kadang kadang dia memeluk tubuhku. Kesempatan itu tidak kusia sia kan, semakin aku menakut nakuti dia dengan hantu itu semakin erat pula pelukannya. Pelan tapi pasti siku kiriku mulai merangsek menekan payudara kanannya. Ina seperti tak peduli dengan tanganku, setiap kali hantu itu keluar di layar TV maka dia akan memelukku, dan saat itu pula siku ku dapat menikmati kenyalnya payudara muda miliknya. Belahan dadanya begitu menonjol, karena dia mempunyai perut yang rata dan pinggang yang kecil, tetapi pantatnya bundar dan padat.. Betul betul seksi.
Jam demi jam terus berlalu, mungkin karena capek Ina tertidur pulas. Pada awalnya posisi tidurnya masih bersandar dengan mantap di sandaran bangku, tetapi akibat goyangan bus ketika melewati tikungan, pelan pelan kepalanya mulai rebah kekanan dan akhinya mendarat dengan lembut di bahuku.
Nafasnya pelan tapi teratur, menandakan tidurnya sudah lelap sekali. Kembali siku kiriku kugeser sedikit demi sedikit agar tepat mengenai ujung lancip payudaranya dan aku menutup mata, pura pura tidur. Setiap kali mobil terguncang, tekanan siku ku semakin mantap, sehingga dapat kurasakan kehangatan yang mulai menjalari setiap nadiku dan membuat sesuatu bergerak secara otomatis, makin keras, makin keras dan oh.. Penisku sudah bangun.
Dengan lembut dan peerllahann.. Sekali kuraih tangan kanannya dan kuletak kan disela sela pahaku. Tangannya yang lembut tepat menimpa kejantananku dan aku terus berdoa agar bus lebih sering masuk lobang lobang kecil yang akan menimbulkan goncangan ketangan Ina, dan penisku bisa merasakan gesekan hangat tangannya.
Tubuh Ina tiba tiba bergerak dan mulutnya mengeluarkan gigauan yang tidak bisa kutangkap maknanya, tetapi tangannya mencengkram seperti mau memegang sesuatu dan oohh”yang dia pegang justru batang penisku yang sudah demikian tegangnya. Aku yakin Ina tidak sadar akan itu semua, tetapi bagaimanapun justru secara tak sengaja dia telah membangkitkan gairah birahiku yang paling dalam. Pantatku mulai kugerakkan turun naik agar batang penisku dapat merasakan sentuhan tangannya walaupun hanya dari balik celana.
Oh.. Makin lama semakin keras penisku dan aku mulai merasakan denyutan airbah spermaku mengalir dari zakar menuju batang penis dan terus ohh.. Aku mau keluar. Tiba tiba aku dikagetkan oleh lampu interior bus menyala serentak membuat suasana jadi terang benderang.
“Istirahat, istirahat, bagi yang mau mandi, sholat dan makan, kami sediakan waktu yang cukup”
Dalam hati aku mengumpat, “Sial.. Sudah mau orgasme jadi.. Terputus deh”.
Diberdayakan oleh Blogger.